2.1. Sejarah
Suku Polahi Di Gorontalo
Di hutan di Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo
hidup beberapa kolompok manusia yang di sebut oleh masyarakat gorontalo sebagai
polahi. Jumlah suku Polahi yang terdata di Desa Bina Jaya berjumlah 11 KK, Suku
polahi adalah warga masyarakat gorontalo yang terisolir di kawasan pedalaman
provinsi gorontalo, untuk mencapai ke lokasi perkampungan polahi harus menempuh
perjalanan kaki selama tujuh jam, menurut cerita yang berkembang di
masyarakat gorontalo bahwa suku Polahi adalah mereka yang tidak mau di tindas
dan dijajah oleh Belanda, sehingga dari
beberapa kolompok masyarakat banyak yang mengamankan diri mereka dengan cara
berpindah tempat masuk kedalam hutan. Jumlah mereka
seluruhnya sekitar 500 orang, kira-kira 200 orang di Kecamatan Paguyaman dan
300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Suku terasing
polahi umumnya mereka hidup berpencar
dalam kelompok-kelompok kecil. Departemen Sosial Kabupaten Gorontalo
telah meng-identifikasi masyarakat polahi dengan kelompok 9, kelompok 18,
kelompok 21 atau kelompok 70 berdasarkan jumlah anggota kelompok dalam satu
kampung. Cara mengenal suku Polahi yaitu berbadan tegap dan kekar,
berjalan sangat cepat, bahasa gorontalo asli, jari kaki mereka terbuka, tangan
mereka sangat kekar.
Jika menelusuri sejarah perjuangan rakyat
Gorontalo dalam mengusir penjajah, ternyata terdapat benang merah yang dapat
ditarik untuk mengetahui bagaimana suku polahi pertama kali muncul. Masyarakat
Gorontalo adalah masyarakat yang memiliki jiwa patriotisme yang sangat tinggi
sehingga mereka rela mengasingkan diri dihutan dengan alasan menolak
kerja paksa dan tuntutan membayar pajak kepada kompeni. Secara terperinci bahwa
perlawanan rakyat Gorontalo terhadap kaum penjajah sudah dimulai sejak Raja
Eyato menjadi raja di Gorontalo pada tahun 1673 sampai 1679 Masehi. Terlepas dari itu semua yang pasti suku
polahi ini ada karena mereka tidak meng-inginkan hidup dalam kungkungan dari
para penjajahan.
2.2. SUKU
POLAHI PRIMITIF
Suku Polahi yang masih primitif ini dulunya
sangat ditakuti oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, jika kita bertemu dengan mereka berada dalam
hutan kita akan di usir bahkan dibunuh jika melawan, ini mereka lakukan karena
mereka tidak menginginkan kehadiran orang lain, mereka masih mengangap bahwa
orang yang datang itu adalah penjajah. Dalam kesehariannya mereka menghabiskan
seluruh waktu mereka di dalam hutan dengan hanya mengandalkan gubuk kecil
beratapkan dedaunan tanpa dinding sebagai tempat peristirahatan sementara
mereka. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka biasanya berburu babi hutan.
Rusa dan ular. Selain itu mereka juga mengkonsumsi dedaunan, umbi umbian dan
akar rotan sebagai makanan sehari hari. Untuk memasak mereka menggunakan batang
bamboo sebagai wadah. Cara memasaknya juga amat sangat sederhana yaitu dengan
memasukkan semua bahan makanan kedalam lubang bambu lalu membakarnya diatas
perapian hingga batang bamboo tadi retak atau pecah sebagai tanda bahwa makanan
telah selesai di masak. Makanan tersebut 100% asli tanpa bumbu apapun karena
mereka juga belum mengenal bumbu bumbuan.
Hal unik lainnya dari suku polahi adalah cara
berpakaian. Kalau kita mengenal beberapa suku di papua menggunakan Koteka
sebagai penutup aurat, maka Suku Polahi lebih memilih menggunakan cawat yang
mereka buat dari daun yang diikat menggunaan tali dari kuit kayu. Cawat ini
juga digunakan oleh kaum perempuan. Mereka belum mengenal penutup dada alias
Bra. Jadi kaum perempuan Suku Polahi dalam kesehariannya adalah Toples alias
setengah bugil.
Yang paling unik dari suku ini adalah system
perkawinan. Mereka mungkin satu satunya Suku di Indonesia yang menganut
perkawinan sedarah, dimana jika satu keluarga memiliki anak laki laki dan
perempuan maka mereka otomatis akan di nikahkan dengan saudaranya tersebut.
Jadi anak anak mereka sekaligus menjadi menantu mereka. Bahkan sang ibu bisa
menikahi anak lelakinya dan sang ayah bisa menikahi anak perempuannya. Jelas
bahwa budaya ini sangat bertentangan dengan ajaran agama bahkan sangat
dilarang karena dalam Islam dikenal konsep muhrim yang mengatur hubungan sosial
antara individu yang masih terhitung dalam kekerabatan.
2.3.
Masyarakat Polahi tidak mau turun gunung
Sampai hari ini, masih ada masyarakat adat Polahi yang hidup di lereng
Gunung Boliyohuto, meskipun Dinas Sosial setempat telah menyediakan permukiman
untuk mereka yang terletak di luar kawasan hutan konservasi. Menurut Kepala Seksi Pemberdayaan Komunitas
Adat Terpencil (PKAT) Dinas Sosial Provinsi Gorontalo, Supardi Walango,
terdapat sejumlah alasan sebagian masyarakat Polahi tidak bersedia turun
gunung. Salah satunya adalah karena masyarakat Polahi sulit berbaur dengan
warga Gorontalo kebanyakan akibat perbedaan cara hidup. “Dari cara berpakaian
saja masyarakat ini sudah berbeda. Mereka masih menggunakan pakaian dari kulit
binatang, sementara kaum perempuannya tidak mengenakan penutup tubuh bagian
atas,” ujar Supardi kepada Kompas.com, Selasa (3/9/2013). Masyarakat polahi
juga tak mengenal sistem penanggalan seperti yang biasa digunakan masyarakat
Gorontalo umumnya. Polahi mengukur pergantian waktu berdasarkan masa panen.
“Kalau kita bertanya umur seorang polahi, dia akan menjawab dengan ukuran masa
panen. Misalnya umur saya 20 kali panen, atau 25 kali panen,” terang Supardi.
Polahi juga menganut kepercayaan berbeda dengan kebanyakan orang Gorontalo yang
mayoritas menganut agama Islam. “Kuburan mereka saja tidak ditandai dengan
nisan, tapi pohon pinang,” kata Supardi.
Selain karena perbedaan cara hidup, masyarakat Polahi juga menolak turun
gunung karena tidak ingin hidup di bawah aturan pemerintah. “Mereka ingin hidup
bebas. Tidak mau diatur pemerintah, tidak mau ditekan-ditekan, tidak mau bayar
pajak dan melakukan kewajiban seperti umumnya seorang warga negara Indonesia,”
kata Supardi. Supardi menuturkan, menurut sejarah, awalnya Polahi adalah
sekumpulan orang Gorontalo yang melakukan eksodus ke wilayah hutan karena
menghindari penjajahan Belanda. Kejamnya penjajahan masih lekat dalam ingatan
orang Polahi hingga menurun kepada anak cucu mereka. Sebagian orang Polahi
masih menganggap, pemerintah sekarang tak jauh berbeda kejamnya dengan penjajah
Belanda dahulu. Supardi menjelaskan, faktor geografis juga menjadi alasan
sebagian masyarakat Polahi menolak turun gunung. Mereka menolak menempati 16
rumah layak huni yang disediakan Dinsos Gorontalo di desa Tamaila, Kecamatan
Tolangohula, Kabupaten Gorontalo karena permukiman tersebut terletak di lokasi
yang jauh dari aliran sungai. Dinsos sebenarnya telah berencana membangun
pemukiman di dekat aliran sungai, namun rencana ini tidak mendapatkan
rekomendasi dari Dinas Kehutanan setempat. “Kawasan di dekat sungai tersebut
menurut Dinas Kehutanan sudah masuk dalam kawasan hutan konservasi. Sehingga
kita tidak bisa membangun pemukiman di sana,” kata Supardi. Supardi
melanjutkan, seluruh lahan yang diberikan untuk suku Polahi harus memiliki
sertifikat tanah. “Kita tidak mungkin membuatkan sertifikat untuk tanah yang
masuk kawasan hutan,”imbuhnya. Otomatis, kata Supardi, berbagai fasilitas
seperti penyuluhan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan hanya dirasakan
masyarakat Polahi yang berada di Desa Tamaila, sementara Polahi yang masih
berada di kawasan hutan tidak bisa menikmati hal tersebut.
2.4. Cerita Mistik Di dalam Suku Polahi
Beberapa puluh tahun lalu, keberadaan Polahi masih merupakan cerita
mistis yang penuh misteri. Paling banyak cerita mengenai suku ini datang dari
para pencari rotan yang mengambil rotan di Pengunungan Boliyohuto. Satu
keluarga dari Suku Polahi yang ada di pedalaman Hutan Humohulo, Kecamatan
Paguyaman, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Banyak cerita mistis dan misteri
mengenai kehidupan primitif mereka."Para pencari rotan sebelum saya,
bercerita bahwa Polahi yang bertemu dengan mereka, selalu merampas barang-barang
mereka. Mereka terpaksa menyerahkan makanan dan parang yang dibawa, karena
kalau tidak Polahi bisa membunuh mereka," ujar Jaka Regani (48) salah satu
pencari rotan yang ditemui di Hutan Humohulo, Panguyaman, Kecamatan Boalemo,
Gorontalo, pekan lalu. Dulu, Polahi tidak mengenal pakaian. Mereka hanya
mengenakan semacam cawat yang terbuat dari kulit kayu atau daun woka untuk
menutupi kemaluan mereka. Sementara itu, bagian dada dibiarkan telanjang,
termasuk para wanitanya. "Tapi sekarang Polahi yang berada di Paguyaman
dan sekitarnya sudah tahu berpakaian. Mereka sudah berpakaian layaknya warga
lokal lainnya," ujar Rosyid Asyar, seorang juru foto yang meminati
kehidupan Polahi. Suku Polahi dianggap mempunyai ilmu kesaktian bisa menghilang
dari pandangan orang. Mereka dipercaya punya kemampuan berjalan dengan sangat
cepat, dan mampu hidup di tengah hutan belantara. "Dua puluh tahun lalu
ada teman saya yang meneliti mengenai Polahi primitif sempat hidup bersama
mereka selama seminggu. Menurut pengakuannya, ketika bertemu dengan Polahi
primitif tersebut, matanya harus diusap dengan sejenis daun dulu baru bisa
melihat Polahi," jelas Rosyid. Kehidupan Polahi yang bertahan di hutan
pedalaman Boliyohuto dan tidak mau turun hidup bersama dengan warga kampung, membuat
cerita mistis mengenai mereka terus bertahan. Menurut sejarah yang bisa
ditelusuri, sejatinya suku Polahi merupakan warga Gorontalo yang pada waktu
penjajahan Belanda dulu melarikan diri ke dalam hutan. Pemimpin mereka waktu
itu tidak mau ditindas oleh penjajah. Oleh karena itu, orang Gorontalo menyebut
mereka Polahi, yang artinya "pelarian." Jadilah Polahi hidup
beradaptasi dengan kehidupan rimba. Setelah Indonesia merdeka, turunan Polahi
masih bertahan tinggal di hutan. Sikap antipenjajah tersebut terbawa terus
secara turun temurun, sehingga orang lain dari luar suku Polahi dianggap
penindas dan penjajah. Keterasingan mereka di hutan membuat Polahi tidak
terjangkau dengan etika sosial, pendidikan dan agama. Turunan Polahi lalu
menjadi warga yang sangat termarginalkan dan tidak mengenal tata sosial pada
umumnya. Mereka juga tidak mengenal baca tulis serta menjadikan mereka suku
yang tidak menganut agama. Keterasingan itu semakin melengkapi misteri dan
cerita mistis suku Polahi. "Awalnya kami takut bertemu dengan Polahi jika
sedang berada di hutan mencari rotan, tetapi kini kami malah sering menumpang
istirahat di rumah mereka ketika berada dalam hutan," kata Jaka. Suku
Polahi yang ditemui Kompas.com di Hutan Homohulo, Paguyaman, Kabupaten Boalemo,
memang menepis sedikit cerita mistis dan misteri yang melingkupi mereka selama
ini. "Kami sudah berpakaian sejak lama sekali, tidak lagi telanjang, sudah
malu dilihat orang kalau turun ke kampung untuk ke pasar," ujar Mama
Tanio, salah satu perempuan Polahi yang ditemui dalam bahasa Gorontalo dengan
dialek khas Polahi. Bahkan menurut Mama Tanio, tayangan sebuah TV swasta
nasional beberapa waktu lalu yang memperlihatkan mereka dalam keadaan
telanjang, tidak lagi murni seperti itu. "Baba Manio dibayar untuk telanjang
waktu itu," aku Mama Tanio yang merupakan istri Baba Manio, Kepala Suku
mereka. Kini, walau belum menghafal sistem penanggalan modern dengan benar,
Polahi di Hutan Humohulo setiap pekan turun ke pasar desa untuk menjual hasil
kebun mereka dan berbelanja kebutuhan hidup mereka. Bahkan, para Polahi kini
menawarkan jasa sebagai buruh angkut barang para penambang yang melewati
permukiman mereka. Setidaknya, Polahi kini sudah mengenal nilai tukar uang.
Bahkan. anak-anak Polahi yang sudah dewasa kini sudah mahir menggunakan telepon
seluler untuk komunikasi dengan warga lainnya. Kondisi ini mengindikasikan
sebenarnya Polahi bisa membuka diri dari sentuhan peradaban sosial. Pendekatan
dari pemerintah untuk membuat mereka mengenal agama dan pendidikan memerlukan
kajian yang tepat agar penanganan kehidupan sosial mereka tepat sasaran.
Pemerintah pernah menyediakan mereka lokasi Rumah Layak Huni (Mahayani) di Desa
Bina Jaya dengan membangun sembilan rumah untuk mereka huni. Namun, Polahi
lebih memilih kembali ke hutan. "Tidak tahan tinggal di kampung, panas
sekali, dan kami tidak bisa berkebun," ujar Mama Tanio memberi alasan.
Kebiasaan primitif yang hingga kini masih terus dipertahankan turunan Polahi
adalah kimpoi dengan sesama saudara. Karena tidak mengenal agama dan
pendidikan, anak seorang Polahi bisa kimpoi dengan ayahnya, ibu bisa kimpoi
dengan anak lelakinya, serta adik kimpoi dengan kakaknya. Selain di Paguyaman,
suku Polahi juga bisa ditemui di daerah Suwawa dan Sumalata. Semuanya berada di
sekitar Gunung Boliyohuto, Provinsi Gorontalo. "Memang untuk bertemu
dengan Polahi primitif nyaris mustahil, tetapi beberapa orang meyakini hingga
kini masih bertemu dengan mereka," kata Rosyid lagi.
2.5. Perkawinan Ciri Khas Suku Polahi
Perkawinan dalam pengertian sederhana diartikan yaitu ikatan pribadi
antara pria dan wanita untuk membentuk suatu keluarga atau hubungan
kekerabatan. Memiliki fungsi sebagai legalisasi akan kebutuhan seks, memelihara
keturunan atau reproduksi dan lain sebagainya. Hal tersebut dilegalkan oleh
lingkungannya atau hukum masyarakat sekitar tempat ia hidup. Lebih lanjut
mengenai tujuan dan syarat-syarat perkawinan di Indonesia dipaparkan pada UU
nomor 1 tahun 1974 mengenai perkawinan. Undang-undang tersebut pada Bab II
pasal 8 juga menerangkan adapun beberapa larangan perkawinan yaitu: (1)
berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas; (2)
berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara seorang saudara
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. (3)
berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, ibu atau bapak tiri. (4)
sehubungan susunan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan. (5) sehubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenekan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
(6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku, dilarang
kawin.
Pada pedalaman hutan Boliyohato tepatnya di daerah Gorontalo terdapat
suatu suku yang bernama Suku Polahi yang masih tradisional, untuk mencapai ke
lokasi perkampungan Polahi harus menempuh perjalanan kaki selama tujuh
jam, menurut cerita yang berkembang di masyarakat Gorontalo bahwa Suku
Polahi adalah mereka yang tidak mau di tindas dan dijajah oleh
Belanda. sehingga dari beberapa kolompok masyarakat banyak yang
mengamankan diri mereka dengan cara berpindah tempat masuk kedalam hutan. Pola
hidup mereka berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lain “nomaden”.
Keseharian hidupnya mereka habiskan di dalam hutan. Berburu adalah cara
mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Cara memasak mereka juga masih sangat
sederhana yaitu dengan memasukkan seluruh bahan makanannya kedalam satu bambu,
kemudian bambu tersebut mereka bakar sampai retak atau pecah yang menurut
mereka sebagai tanda bahwa masakan mereka telah matang. Masakan tersebut masih
belum tercampuri oleh bumbu-bumbuan, mereka hanya mencampurkan semua bahan yang
berniat mereka makan. Kekita di dalam hutan, Laki-laki dan perempuan masyarakat
Polahi tradisional hanya menggunakan pakaian semacam celana dalam yang terbuat
dari daun-daunan untuk menutupi alat kelamin mereka.
Pada masyarakat Suku Polahi tradisional, mereka masih menganut perkawinan
sedarah atau incest. Hal semacam ini sudah menjadi salah satu adat di
kebudayaan mereka yaitu apabila suatu keluarga memilki anak laki-laki dan
perempuan maka secara otomatis dua bersaudara ini akan saling menikah atau
dinikahkan, dari sini kita dapat melihat bagaimana anak mereka sekaligus juga
menjadi menantu untuk mereka. Begitu juga sang ayah atau ibu mereka dapat
menikah dengan anak-anaknya sendiri, jelas disini kita dapat melihat adanya
ketidakteraturan pada susunan kekerabatan mereka.
Secara sudut pandagan budaya, incest lebih bersifat
emosional daripada masalah hukum. Maka istilah tabu lebih dipilih daripada
hanya sekedar larangan. Dalam antropologi incest di pandang sebagai hal
yang universal, incest dipandang secara berbeda dalam masyarakat
yang berbeda, dan pengetahuan tentang pelanggarannya pun menimbulkan reaksi
yang sangat berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Beberapa
masyarakat menganggap incest hanya meliputi mereka yang
tinggal dalam satu rumah, atau yang berasal dari klan atau keturunan yang sama;
masyarakat lain menganggap incest meliputi “saudara sedarah”;
sedangkan yang lainnya lagi lebih jauh mengkaitkannya dengan adopsi atau
perkawinan.
0 komentar:
Posting Komentar